Di balik narasi-narasi kecil dan personal yang disimpannya, arsip foto keluarga sejatinya menawarkan jendela untuk memahami kondisi zaman.
Hanya sedikit tersisa arsip foto yang menceritakan riwayat keluarga saya. Sempat ada berpuluh foto dan klise negatif yang mengabadikan perjalanan keluarga, tapi semua itu kemudian raib, mungkin ditinggal saat proses pindah rumah lantaran dianggap dokumen yang tak bernilai. Dari kehilangan itulah saya menjadi begitu dekat dengan foto-foto lawas yang tergeletak di pasar loak. Menikmati mereka membantu saya menambal lubang ingatan, hingga kemudian mendorong saya melakukan eksperimen pengarsipan foto keluarga yang bernama Unhistoried.
Sejak empat tahun lalu, saya melakukan pengumpulan, pendataan, serta digitalisasi foto-foto dari pasar loak, mayoritas dari kota Malang dan Yogyakarta. Saya menyebut mereka “foto yatim piatu” : foto tanpa ikatan familial, tanpa cerita sentimental. Lepas dari tangan pembuat dan pemiliknya, mereka pun mengerucut jadi objek yang dikebiri dari kenangannya, ibarat serpihan artefak dari sebuah era, walau bukan berarti kosong tanpa cerita.
Pantai Parangtritis, Yogyakarta, 1970-an; foto tahun 1980-1990-an
Foto keluarga adalah rekaman semangat visual sebuah zaman yang diproduksi secara sukarela, partisipatoris, juga kolektif. Mereka menawarkan jendela kecil untuk membaca konteks yang lebih luas. Foto ini mengungkapkan cerita individu dan keluarga secara keseluruhan, karena pada dasarnya setiap individu mengemban multiperan sebagai anggota keluarga sekaligus anggota jaringan komunitas yang lebih luas. Usai mengadopsi foto-foto yatim piatu ini, saya melakukan pemaknaan, re-interpretasi, serta pelacakan jejak-jejak kontekstual dan historis di baliknya.
Dari ribuan foto yang terkumpul, beberapa menarik perhatian. Contohnya foto Presiden Soeharto bersama Ibu Tien dalam sebuah acara resmi. Ada juga foto Presiden Gus Dur dalam sebuah jamuan keluarga. Kedua foto itu secara tidak langsung menunjukkan betapa tokoh-tokoh besar pun bersinggungan dengan peristiwa kecil dalam keluarga. Foto keluarga adalah serpihan cerita dari narasi yang lebih besar. Ia terbentuk dalam ruang yang domestik dan intim, unit sosial terkecil bernama keluarga.
Itu pula sebabnya foto-foto keluarga tak bisa dipandang remeh. Setelah sekian panjang perjalanan ditempuh oleh sebuah bangsa, setelah semua kisah heroik tentang kepahlawanan dan epos diceritakan, narasinarasi kecil dituturkan dalam keluarga. Melalui meja makan atau kenduri, cerita minor itu larut dalam teguk kopi, menjalar bersama aroma teh, menyelinap di antara denting piring, seolah menegaskan sejarah terjadi tak hanya di panggung negara, tapi juga di bilik-bilik privat.
Slide positif potret diri di Versailles, Prancis, dalam kunjungan kerja pada 1970-1980-an.
Mayoritas arsip foto keluarga dalam Unhistoried bertitimangsa 1970 hingga 1990-an—sebuah kurun yang menandai babak pertama popularitas fotografi di Indonesia, terutama di kalangan menengah-atas. Dalam buku Refracted Visions: Popular Photography and National Modernity in Java, Karen Strassler mengklaim fotografi mulai mudah diakses oleh masyarakat Indonesia di era Orde Baru. Awalnya dilakukan dalam studio, memotret merekah jadi praktik umum, terutama setelah kamera banyak tersedia di pasar berkat kian terbukanya keran impor produk asing.
Dari arsip yang terkumpul, foto bertema perjalanan cukup dominan. Sejak lama, fotografi memang berhubungan mesra dengan wisata. Menenteng kamera saat trip, mengabadikan pemandangan, serta mengumpulkan dokumentasi dalam album foto, adalah laku yang lumrah. Sebagaimana kini, motivasi masyarakat dulu untuk bepergian pun beragam, mulai dari piknik keluarga, ziarah, pertukaran pelajar, hingga kunjungan kerja.
Atraksi menunggang unta di Piramida Giza, Mesir, pada 1989.
Arsip Unhistoried menunjukkan destinasi favorit keluarga Indonesia meliputi situs prasejarah, pesona alam, dan monumen penting. Tercakup dalam Tujuh Keajaiban Dunia, Candi Borobudur kerap terekam, mulai dari foto hitam putih buatan 1970-an hingga foto berwarna bertarikh 1980-an. Pada beberapa lembar foto terlihat orang-orang yang berupaya menyentuh patung Buddha di dalam stupa Borobudur. Mitos semacam ini ternyata berjejak panjang.
Unhistoried juga mengoleksi arsip foto perjalanan ke luar negeri. Foto era 1970-an cenderung dibuat dalam misi dinas atau studi banding. Ada misalnya sekitar 100 foto yang mendokumentasikan kunjungan kerja pegawai PLN Yogyakarta dan tenaga ahli pengairan dari Malang ke Amerika dan Eropa. Mengingat pada periode itu Indonesia tengah menggencarkan pembangunan infrastruktur, tak heran jika foto-foto dinas insinyur menjadi rekaman yang penting. Perkembangan ini tentu tak lepas dari konektivitas udara yang kian terbuka. Garuda Indonesia, misalnya, di masa awal Orde Baru gencar melebarkan sayapnya ke banyak kota, termasuk Frankfurt dan Los Angeles.
Khusus foto trip bisnis, medium yang dipilih berbeda dari foto keluarga. Jika foto keluarga dipotret dengan film negatif dengan tujuan dicetak, arsip foto dinas dipotret menggunakan slide positif dengan tujuan dipresentasikan. Dalam kumpulan arsip ini, selain foto terkait permesinan, terdapat sejumlah foto pribadi di tempat-tempat ikonis sebagai catatan pribadi.
Memasuki periode 1980-an, foto perjalanan lebih variatif. Salah satu arsip yang menarik merekah jadi praktik umum, terutama setelah kamera banyak tersedia di pasar berkat kian terbukanya keran impor produk asing. Dari arsip yang terkumpul, foto bertema perjalanan cukup dominan. Sejak lama, fotografi memang berhubungan mesra dengan wisata. Menenteng kamera saat trip, mengabadikan pemandangan, serta mengumpulkan dokumentasi dalam album foto, adalah laku yang lumrah. Sebagaimana kini, motivasi masyarakat dulu untuk bepergian pun beragam, mulai dari piknik keluarga, ziarah, pertukaran pelajar, hingga kunjungan kerja. Arsip Unhistoried menunjukkan destinasi favorit keluarga Indonesia meliputi situs prasejarah, pesona alam, dan monumen penting. Tercakup dalam Tujuh Keajaiban Dunia, Candi Borobudur kerap terekam, mulai dari foto hitam putih buatan 1970-an hingga foto berwarna bertarikh 1980-an.
Pada beberapa lembar foto terlihat orang-orang yang berupaya menyentuh patung Buddha di dalam stupa Borobudur. Mitos semacam ini ternyata berjejak panjang. adalah seri foto trip panjang mengelilingi Eropa pada 1980. Tetirah berdurasi hampir sebulan ini diabadikan dalam slide positif dan disertai catatan-catatan hasil ketikan—sebuah kriya unik yang menggambarkan makna sentimental arsip foto saat itu. Kombinasi visual dan teks ini membentuk sebuah kaleidoskop perjalanan bertajuk “1980 European Holiday.”
Selanjutnya, berpindah ke dekade 90-an, foto perjalanan kian melimpah, baik perjalanan domestik maupun mancanegara. Unhistoried memiliki sebuah album milik keluarga yang didedikasikan untuk menampung foto wisata lintas negara. Di dalamnya terangkum foto-foto mereka di banyak negara, termasuk Singapura, Hong Kong, Jepang, Mesir, Belanda, Spanyol, Denmark, hingga Amerika Serikat. Kita bisa membaca kisah ini dari beragam sudut: simbol pertumbuhan (atau kesenjangan) ekonomi, peningkatan gairah wisata, atau perbaikan tingkat pendidikan dan penguasaan bahasa asing.
Kebiasaan merogoh arca di Borobudur terekam dalam foto 1970-an.
Dalam pengarsipan foto keluarga Indonesia, Unhistoried awalnya melakukan kategorisasi, katalogisasi, serta pemetaan tema-tema besar. Beberapa tema yang kerap muncul adalah foto liburan, dokumentasi pekerjaan, serta ritus, termasuk kelahiran, kedewasaan, pernikahan, dan kematian. Jika pengarsipan adalah proses merapikan ingatan, maka Unhistoried berusaha membuat ingatan itu lebih mudah dicerna.
Tahap berikutnya ialah memproduksi karya artistik dan riset. Sekarang Unhistoried fokus melihat bagaimana semangat dan sejarah nasional Indonesia pada era Orde Baru tecermin dalam foto keluarga. Dari sini, harapannya, akan lahir sebuah karya artistik yang menggunakan foto keluarga sebagai metode pembacaan sejarah, seraya di sisi lain memahami cara fotografi difungsikan oleh keluarga di Indonesia.
Salah satu tantangan Unhistoried ke depan ialah proliferasi kamera digital. Kamera jenis ini kian canggih, kian praktis, juga kian variatif harganya. Kita kini menyaksikan betapa kamera, terutama yang terpasang di telepon genggam, telah menjadi barang massal. Dokumentasi keluarga, termasuk momen personal dan wisata, bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Di titik ini, fotografi bisa dibilang telah merekah jadi “medium demokratis” yang melintasi kelas sosial.
Foto pemandangan pesisir Sumatra yang diambil dalam agenda perjalanan kerja pada 1980-an.
Problemnya kemudian ialah pengarsipan foto. Teknologi digital telah menggeser tradisi membuat album keluarga, termasuk di dalamnya proses afdruk, penataan foto, serta sentuhan kriya yang menjadi perilaku unik masyarakat terhadap fotografi. Alih-alih, banyak orang menyimpan foto dalam hard disk. Tak ada entitas fisik yang memberikan kesempatan penemuan foto kembali ketika ia hilang. Sebagian orang memilih menimbun foto di cloud atau memajangnya di media sosial—keputusan yang membuat foto rentan tersesat dalam laci- laci internet.
Fotografi, yang awalnya diciptakan untuk mengabadikan citra, kini menghadapi tantangan “kepunahan” baru: lepas dari bentuk fisiknya, ia utuh secara digital, namun ditelan kelimun data dalam gudang maya. Selama terkunci kata sandi pemiliknya, mereka tak akan menjadi foto yatim-piatu, tapi terancam menjadi foto yang telantar—dan tak ada pasar loak yang akan menjualnya.
Arif Furqan
Fotografer, penulis, dan peneliti lepas di Yogyakarta. Sedang mengerjakan proyek pengarsipan foto keluarga Indonesia dalam Unhistoried. Juga menjadi salah satu bagian dari Flock Project, kolektif yang mengeksplorasi kemungkinan presentasi fotografi dalam medium cetak.
Artikel ini telah dipublikasikan di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2020 dengan judul 'Kolase Kenangan'. Versi online dari artikel ini dapat dibaca di sini.